STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 29 Juli 2013

PROFESIONALISME GURU DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

1.      PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang Masalah
Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang dicapai setelah melalui proses kegiatan belajar mengajar. Prestasi belajar dapat ditunjukan melalui nilai yang diberikan oleh seorang guru dari jumlah bidang studi yang telah dipelajari oleh peserta didik. Setiap kegiatan pembelajaran tentunya selalu mengharapkan akan menghasilkan pembelajaran yang maksimal. Dalam proses pencapaiannya, prestasi belajar sangat dipengaruhi oleh berbagai factor. Salah satu factor utama yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pembelajaran adalah keberadaan guru. Mengingat keberadaan guru dalam proses kegiatan belajar mengajar sangat berpengaruh, maka sudah semestinya kualitas guru harus diperhatikan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, aspek utama yang ditentukan adalah kualitas guru. Untuk itu, upaya awal yang dilakukan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah kualitas guru. Kualifikasi pendidikan guru sesuai dengan prasyarat minimal yang ditentukan oleh syarat-syarat seorang guru yang profesional.
Guru profesional yang dimaksud adalah guru yang berkualitas, berkompetensi, dan guru yang dikehendaki untuk mendatangkan prestasi belajar serta mampu mempengaruhi proses belajar mengajar siswa yang nantinya akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang baik.
Kamal Muhammad ‘Isa mengatakan: “bahwa guru atau pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin ummat”.[1]  Adapun pengertian guru menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tantang Guru dan Dosen, yakni sebagaimana tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) sebagai berikut: “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan  dasar dan menengah”.[2]  Selanjutnya Moh Uzer Usman dalam bukunya Menjadi Guru Profesional mendefinisikan bahwa: “guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.[3]
Pendapat lain dikemukakan oleh Asrorun Ni’am Sholeh dalam buku yang bejudul Membangun Profesionalitas Guru, mengungkapkan bahwa: dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building)  peserta didik secara berkelanjutan. Dalam terminology Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan. Demikian mulianya posisi guru, sampai-sampai Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb mengidentifikasi diri-Nya sebagai rabbul’alamin “Sang Maha Guru”, “Guru seluruh jagad raya”. Untuk itu, kewajiban pertama yang dibebankan setiap hamba sebagai murid  “Sang Maha Guru” adalah belajar, mencari ilmu pengetahuan. Setelah itu, setiap orang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain. Dengan demikian, profesi mengajar adalah sebuah kewajiban yang merupakan manifestasi dari ibadah. Sebagai konsekuensinya, barang siapa yang menyembunyikan sebuah pengetahuan maka ia telah melangkahkan kaki menuju api neraka.[4]
Menanggapi apa yang telah dikemukakan oleh Asrorun Ni’am Sholeh, penulis memahami bahwa profesi mengajar adalah suatu pekerjaan yang memiliki nilai kemuliaan dan ibadah. Mengajar adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, mengingat mengajar adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan, maka sudah sepantasnya bagi orang yang tidak menyampaikan ilmu pengetahuannya maka akan berakibat dosa bagi dirinya.
Selanjutnya Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan bahwa di sisi lain, profesi mengajar merupakan kewajiban tersebut, hanya dibebankan kepada setiap orang yang berpengetahuan. Dengan kata lain, profesi mengajar harus didasarkan pada adanya kompetensi dengan kualifikasi akademik tertentu. Mengajar, bagi seseorang yang tidak mempunyai kompetensi profesional untuk itu justru akan berbuah dosa. Kemudian, “apabila sesuai dilakukan oleh sesuatu yang bukan ahlinya, maka tunggulah suatu kehancurannya”. Penggalan hadits Rasulullah saw. ini seolah memberikan warning bagi guru yang tidak memenuhi  kompetensi profesionalnya.[5]
Dari penjelasan yang dikemukakan Asrorun Ni’am Sholeh, penulis dapat menyimpulkan bahwa profesi mengajar merupakan kewajiban yang hanya dibebankan kepada orang yang berpengetahuan. Dengan demikian, profesi mengajar harus didasarkan pada adanya kompetensi  dan kualifkasi tertentu bagi setiap orang yang hendak mengajar.
Menurut Asrorun Ni’am Sholeh, secara konseptual, deskripsi dua kondisi di atas memberikan dua hal prinsip dalam konteks membicarakan mengenai  profesi guru dan dosen. Pertama, adanya semangat keterpanggilan jiwa, pengabdian dan ibadah. Profesi pendidik merupakan profesi yang mempunyai kekhusususan  dalam membentuk watak serta peradaban bangsa yang bemartabat dan memerlukan keahlian, idealism, kearifan dan keteladanan melalui waktu yang panjang. Kedua,adanya perinsip profesionalitas, keharusan adanya kompetensi dan kualifikasi akademik yang dibutuhkan, serta adanya penghargaan terhadap profesi yang diemban. Maka prinsip idealism dan keterpanggilan jiwa serta prinsip profesionalitas harus mendasari setiap perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat guru dan dosen. Dengan demikian profesi guru dan dosen merupakan profesi tertutup yang harus sejalan dengan prinsip-prinsip idealism dan profesionalitas secara berimbang. Jangan sampai akibat pada perjuangan dan penonjolan aspek profesionalisme berakibat penciptaan gaya hidup materialisme dan pragmatisme yang menafikan idealism dan keterpanggilan jiwa.[6]
 Secara konseptual, unjuk kerja guru menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Johson, sebagaimana yang dikutip oleh Martinis Yamin mencakup tiga aspek, yaitu; (a) kemampuan profesional, (b) kemampuan sosial, dan (c) kemampuan personal (pribadi).[7]
Menyadari akan pentingnya profesionalisme dalam pendidikan, maka Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional.[8]
Akan tetapi melihat realita yang ada, keberadaan guru profesional sangat jauh dari apa yang dicita-citakan. Menjamurnya sekolah-sekolah yang rendah mutunya memberikan suatu isyarat bahwa guru professional hanyalah sebuah wacana yang belum terrealisasi secara merata dalam seluruh pendidikan yang ada di Indonesia. Hal itu menimbulkan suatu keprihatinan yang tidak hanya datang dari kalangan akademis, akan tetapi orang awam sekalipun ikut mengomentari  ketidakberesan  pendidikan dan tenaga pengajar yang ada. Kenyataan tersebut menggugah kalangan akademis, sehingga mereka membuat perumusan untuk meningkatkan kualifikasi guru melalui pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme  guru dari pelatihan sampai dengan intruksi agar guru memiliki kualifikasi pendidikan minimal Strata 1 (S1).
Yang menjadi permasalahan baru adalah, guru hanya memahami intruksi tersebut hanya sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang sifatnya administratif. Sehingga kompetensi guru profesional dalam hal inti tidak menjadi prioritas utama. Dengan pemahaman tersebut, kontribusi untuk siswa menjadi kurang terperhatikan bahkan terabaikan.
Masalah lain yang dtentukan penulis adalah minimnya tenaga pengajar dalam suatu lembaga pendidikan juga memberikan celah seorang guru untuk mengajar yang tidak sesuai dengan keahliannya. Sehingga yang menjadi imbasnya adalah siswa sebagai anak didik tidak mendapatkan hasil pembelajaran yang maksimal. Padahal siswa ini adalah sasaran pendidikan yang dibentuk melalui bimbingan, keteladanan, bantuan, latihan, pengetahuan yang maksimal, kecakapan, keterampilan, nilai, sikap yang baik dari seorang guru. Maka hanya dengan seorang guru profesional hal tersebut dapat terwujud secara utuh, sehinggan akan menciptakan kondisi yang menimbulkan kesadaran dan keseriusan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, apa yang disampaikan seorang guru akan  berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. Sebaliknya, jika hal di atas tidak terealisasi dengan baik, maka akan berakibat ketidak puasan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Tidak kompetennya seorang guru dalam penyampaian bahan ajar secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil dari pembelajaran. Karena proses pembelajaran tidak hanya tercapai dengan keberanian, melainkan faktor utamanya adalah kompetensi  yang ada dalam pribadi seorang guru. Keterbatasan pengetahuan guru dalam penyampaian materi baik dalam hal metode ataupun penunjang pokok pembelajaran lainnya akan berpengaruh terhadap pembelajaran.
Melihat wacana di atas, sangat terlihat bahwa profesionalisme guru dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar. Atas dasar wacana yang ada di lapangan, maka penulis ingin membuktikan apakah persepsi yang ada di kalangan masyarakat mengenai masalah profesionalisme guru itu benar atau sebaliknya, dengan melakukan penelitian.
Berdasarkan dugaan penulis, pada umumnya kondisi sekolah yang ada masih terdapat guru yang belum profesional. Kompetensi guru yang ada di sekolah tersebut belum sepenuhnya memenuhi  kriteria sebagaimana yang diinginkan oleh persyaratan guru profesional. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan program sertifikasi keguruan dengan mensyaratkan pengajar memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Berdasrkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk membahasnya dan melakukan penelitian yang berjudul “PROFESIONALISME GURU DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI MTS ATTAQWA 03 BABELAN BEKASI-UTARA”
Alasan penulis mengambil judul penelitian ini adalah: Pertama, penulis sangat tertarik dengan pembahasan yang berkaitan dengan masalah profesionalisme guru. Karena penulis berpendapat bahwa profesionalisme guru dalam pendidikan sangat berpengaruh terhadap proses kegiatan belajar mengajar. Kedua, penulis berpendapat bahwa kegagalan pendidikan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah tingkat profesionalisme guru yang kurang baik. Untuk itu, penulis ingin mengetahui pembenaran asumsi tersebut melalui penelitian langsung ke MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara. Ketiga, berawal dari suatu kasus yang ada diwilayah Bekasi yang berkaitan dengan adanya intruksi pemerintah dalam penyetaraan standar kualifikasi tenaga pendidik minimal S1. Penulis melihat, intruksi tersebut ditanggapi tenaga pendidik hanya sebagai pemenuhan administratif yang tanpa memperhatikan peningkatan mutu atau tingkat profesionalisme dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian apakah tenaga pengajar MTs Attaqwa 03 termasuk guru yang mementingkan tingkat profesionalitas ataukah tidak. Keempat, adanya tenaga pengajar yang mengajar tidak sesuai latar belakang pendidikannya akan berdampak terhadap kualitas pendidikan. Penulis ingin mengetahui apakah tenaga pengajar di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara mengalami masalah yang sama ataukah tidak. Untuk itu penulis memilih MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara, sebagai tempat untuk menguji apakah ada hubungan yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
b.      Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.      Pembatasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian ini lebih fokus dan tidak menyimpang dari apa yang ingin diteliti, maka penulis membatasi penelitian ini pada permasalahan sebagai berikut:
a.       Secara garis besar, permaslahan yang menyangkut dengan profesionalisme guru sangat kompleks sekali. Adapun pada judul penelitian ini, profesionalisme  guru yang dimaksud adalah prifesionalisme guru Islam yang lebih spesifiknya guru Fiqih yang profesional, guru yang berkualitas yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Kompetensi guru yang akan diteliti dalam penelitian ini dibatasi kedalam empat kategori, yakni; merencanakan program belajar mengajar, menguasai bahan pelajaran, melaksanakan dan memimpin atau mengelola proses belajar mengajar, serta menilai kemajuan proses belajar mengajar.
b.      Sedangkan prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa yang diperoleh dari penelitian aspek kongnitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dilihat dari hasil belajar siswa berupa nilao raport dalam bidang studi Fiqih.
2.      Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah:
a.       Bagaimana profesionalisme guru Fiqih di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara?
b.      Bagaimana prestasi belajar siswa dalam bidang studi Fiqih di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara?
c.       Apakah ada korelasi antara profesionalisme guru Fiqih dengan prestasi belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara?
c.       Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai adalah:
a.       Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat profesionalisme guru dalam bidang studi Fiqih yang ada di sekolah MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
b.      Untuk memperoleh gambaran tentang prestasi belajar siswa MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara dalam bidang studi Fiqih.
c.       Untuk mengetahui hubungan antara profesionalisme guru dalam proses pembelajaran dengan prestasi belajar siswa dalam bidang studi Fiqih.
2.      Kajian Pustaka
A.    Profesonalisme Guru
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris Indonesia, “profession berarti pekerjaan”.[9] Arifin dalam buku Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.[10]
Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intesif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu.[11]
Menurut Martinis Yamin profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.[12] Jasmin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa, beliau menjelaskan bahwa profesi adalah “suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli”. Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayan yang ahli.[13]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secara akademis.
Dengan demikian, Kunandar mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (kehalian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna.[14]
Adapun mengenai kata “Profesional”, Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata “profesional” itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.[15]
H.A.R. Tilaar menjelaskan pula bahwa seorang profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan.[16]
Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahalian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.[17] Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.[18] Sedangkan Oemar Hamalik mengemukakan bahwa guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar.[19]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tetentu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional. Dengan demikian, profesionalisme guru dalam penelitian ini adalah profesionalisme guru dalam bidang studi Fiqih, yaitu seorang guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang studi Fiqih serta telah berpengalaman dalam mengajar Fiqih sehingga ia mampu melakuakn tugas dan fungsinya sebagai guru Fiqih dengan kemampuan yang maksimal serta memiliki kompetensi sesuai dengan kriteria guru profesional, dan profesinya itu telah menjadi sumber mata pencaharian.
B.     Prestasi Belajar
Kata prestasi belajar terdiri dari dua suku kata, yaitu “prestasi” dan “belajar”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan prestasi adalah: “Hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya)”.[20]
Adapun belajar menurut pengertian secara psikologis, adalah merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil adri interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Menurut slameto pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan ingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.[21]
M. Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan, mengemukakan bahwa belajar adalah: “tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah atau berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.[22]
Dalam rumusan H. Spears yang dikutip oleh Dewa Ketut Sukardi mengemukakan bahwa belajar itu mencakup berbagai macam perbuatan mulai dari mengamati, membaca, menurun, mencoba sampai mendengarkan untuk mencapai suatu tujuan.[23]
Selanjutnya, definisi belajar ang diungkapkan oleh Cronbach di dalam bukunya Edicational Psychology yang dikutip oleh Sumardi Suryabrata menyatakan bahwa: belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan pancainderanya.[24]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang merupakan sebagai akibat dari pengalaman atau latihan.
Sedangkan pengertian prestasi belajar sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.[25]
Prestasi belajar dapat bersifat tetap dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang kehidupannya selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Prestasi belajar dapat memberikan kepuasaan kepada orang yang bersangkutan, khususnya orang yang sedang menuntut ilmu di sekolah.
Prestasi belajar meliputi segenap ranah kejiwaan yang berubah sebagai akibat dari pengalaman dan proses belajar siswa yang bersangkutan. Prestasi belajar dapat dinilai dengan cara:
a.       Penilaian Formatif
Penilaian formatif adalah kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang sedang atau yang suda dilaksanakan.
b.      Penilaian Sumatif
Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu.[26]
C.    Hubungan Profesionalisme Guru Dengan Pretasi Belajar Siswa
Dari penjelasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa yang menjadi alas an adanya hubungan profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa dalam penelitian ini, dapat dilihat dalam dua hal sebagai berikut:
a.       Karena keberadaan guru dalam kelas adalah sebagai manajer bidang studi. Yaitu, orang yang merencanakan, melaksanakan, dan mengecaluasi hasil belajar di sekolah.
b.      Karena guru di sekolah bertugas menentukan keberhasilan siswa. Oleh karena itu, apabila siswa belum berhasil, maka guru perlu mengadakan remedial.
Untuk itu, guru yang mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasl belajar adalah guru yang profesional.
3.      Hipotesis dan Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Untuk menguji ada atau tidaknya hubungan variabel X (profesionalisme guru) dengan variabel Y (pretasi belajar siswa), maka penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut:
Ha:      Terdapat hubungan positif yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
Ho:      Tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
            Dari hipotesis di atas, penulis memiliki dugaan sementara bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara. Untuk itu, penulis sepakat dengan pernyatan Ha di atas.
Kerangka Pemikiran
Profesionalisme berasal dari kata profesion yang mengandung arti pekerjaan yang memerlukan keahlian yang dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan atau latihan tertentu.
Berbicara mengenai profesionalisme, guru adalah termasuk suatu profesi yang memerlukan keahlian tertentu dan memiliki tanggung jawab yang harus dikerjakan secara profesional. Karena guru adalah individu yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kesuksesan anak didik yang berbeda dibawah pengawasannya, maka keberhasilan siswa akan sangat dipengaruhi oleh kinerja yang dimiliki seorang guru. Oleh karena itu, guru profesional diharapkan akan memberikan sesuatu yang positif yang berkenaan dengan keberhasilan prestasi belajar siswa.
Dalam pelaksanaannya, tanggung jawab guru tidak hanya terbatas kepada proses dalam pentrnsferan ilmu pengetahuan. Banyak hal yang menjadi tanggung jawab guru, yang salah satunya adalah memiliki kompetensi idealnya sebagaimana guru professional. Kompetensi disini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis. Dengan kata lain, guru yang profesional ini memiliki keahlian khusus dalam bidang keguruan sehinga dia mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal dan terarah.
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar, seorang guru profesional harus terlebih dahulu mampu merencanakan program pengajaran. Kemudian melaksanakan program pengajaran dengan baik dan mengevaluasi hasil pembelajaran sehingga mampu mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu, seorang guru profesional akan menghasilkan anak didik yang mampu menguasai pengetahuan baik dalam aspek kognitif, afektif serta psikomotorik.
Dengan demikian, seorang guru dikatakan profesional apabila mampu menciptakan proses belajar mengajar yang berkualitas dan mendatangkan prestasi belajar yang baik. Demikian dengan siswa, mereka baru dikatakan memiliki prestasi belajar yang maksimal apabila telah menguasai materi pelajaran dengan baik dan mampu mengaktualisasikannya. Prestasi itu akan terlihat berupa pengetahuan, sikap dan perbuatan.
Kehadiran guru profesional tentunya akan berakibat positif terhadap perkembangan siswa, baik dalam pengetahuan maupun dalam keterampilan. Oleh sebab itu, siswa akan antusias dengan apa yang disampaikan oleh guru yang bertindak sebagai pasilitator dalam proses kegiatan belajar mengajar. Bila hal itu terlaksana dengan baik, maka apa yang disampaikan oleh guru akan berpengaruh terhadap kemampuan atau prestasi belajar anak. Karena, disadari atau tidak, bahwa guru adalah faktor eksternal dalam kegiatan pembelajaran yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses kegiatan pembelajaran itu. Untuk itu, kualitas guru akan memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap proses pembentukan prestasi anak didik. Maka oleh karena itu,  dengan keberadaan seorang guru profesional diharapkan akan mampu memberikan pengaruh positif terhadap kelancaran dan keberhasilan proses belajar mengajar serta mampu memaksimalkan hasil prestasi belajar siswa dengan sebaik-baiknya.
4.      Metodologi Penelitian
1.      Jenis Penelitian dan Pendekatan
a.       Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (Filed Research) sebab data-data yang dikumpulkan diperoleh dari pengamatan di lapangan terhadap objek yang diteliti.
b.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan Penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yaitu pendekatan yang menggunakan perhitungan statistic sebagai dasar untuk menarik kesimpulan.
2.      Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
3.      Teknik Pengumpulan Data
a.       Angket (kuesioner)
Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden.
b.      Wawancara
Wawancara adalah metode tanya jawab untuk menyelidiki pengalaman, perasaan motiv serta motivasi.
c.       Observasi
Observasi menurut Marzuki adalah memperhatikan sesuatu dengan menggunakan mata atau pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dan menggunakan seluruh panca indera.
d.      Dokumentasi
Menurut Moleong dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar dan sebagainya.
4.      Teknik Analisis Data
Teknik analisa data merupakan cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data yang diperoleh agar data tersebut dapat dipahami bukan oleh orang yang mengumpulkan data saja, tapi juga oleh orang lain. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1.      Editing
Dalam pengolahan data yang pertama kali harus dilakukan adalah editing. Ini berarti bahwa semua angket harus diteliti satu persatu tentang kelengkapan dan kebenaran pesngisian angket sehingga terhindar dari kekeliruan dan kesalahan.
2.      Scoring
Setelah melalui tahap editing, maka selanjutnya penulis memberikan skor terhadap pertanyaan yang ada pada angket.
Daftar Pustaka
Ø  Arifin, H.M,  Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-3.
Ø  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.
Ø  ‘Isa Kamal Muhammad, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Fikahati Anesta,
1994, Cet. Ke-1.
Ø  Hamalik , Oemar, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006, Cet. Ke-4.
Ø  Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007, Cet. Ke-1.
Ø  Namsa, M. Yunus, Kiprah Baru Profesi Guru Indonesia Wawasan Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka Mapan, 2006, Cet. Ke-1.
Ø  Purwanto, M. Ngalim, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Ke-10.
Ø  _______________, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. Ke-19.
Ø  Usman, M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006, Cet. Ke-20.
Ø  Sholeh, Asrorun, Ni’am, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen, Jakarta: eLSAS, 2006, Cet. Ke-1.
Ø  Salmeto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet. Ke-4.
Ø  Sukardi, Dewa, Ketut, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah, Surabaya: Usaha Nasional, 1983, Cet. Ke-1.
Ø  Suryabrata, Sumardi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2, h. 231.
Ø  Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, Cet. Ke-6.
Ø  Tilaar , H.A.R, Membenahi Pendidkan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, Cet. Ke-1.
Ø  Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra Umbara, 2006, Cet, Ke-1.
Ø  Usman, M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, Cet. Ke-20.
Ø  Yamin, Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, Cet. Ke-2.


[1] Kamal Muhammad ‘Isa, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Fikahati Anesta, 1994), Cet. Ke-1, h. 64.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia No. Tahun 2005 Tentang Guru dan dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), h. 2-3.
[3] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-20, h. 15.
[4] Asrorun Ni’am Shole, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakarta: eLSAS, 2006), Cet. Ke-1, h. 3.
[5] Asrorun Ni’am Shole, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakarta: eLSAS, 2006), Cet. Ke-1, h. 4.
[6] Asrorun Ni’am Shole, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakarta: eLSAS, 2006), Cet. Ke-1, h. 4-5.
[7] Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Cet. Ke-2, h. 4.
[8] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. 6, h. 107.
[9] John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), Cet. Ke-23, h. 449.
[10] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-3, h. 105.
[11] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h. 45.
[12] Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Cet. Ke-2, h. 3.
[13] M. Yunus Namsa, Kiprah Baru Profesi Guru Indonesia Wawasan Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 29.
[14] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h. 46.
[15] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-20, h. 14-15.
[16] H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidkan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), Cet. Ke-1, h. 86.
[17] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-3, h. 105.
[18] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h. 46-47.
[19] Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-4, h. 27.
[20] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 895.
[21] Salmeto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. Ke-4, h. 2.
[22] M Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. Ke-19, h. 85.
[23] Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), Cet. Ke-1, h. 17.
[24] Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2, h. 231.
[25] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 895.
[26] M Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-10, h. 26.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar